ASAS-ASAS
HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA
1.
Hakim Bersifat Menunggu : maksudnya ialah
hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak di ajukan kepadanya, kalau tidak
ada tuntutan hak atau penuntutan maka tidak ada hakim. Jadi apakah akan ada
proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan di ajukan
atau tidak, sepenuhnya di serahkan kepada pihak yang berkepentingan.(pasal 118
HIR, 142 Rbg.).
2.
Hakim Pasif (Lijdelijkeheid
Van De Rehter): hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersikap
pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang di
ajukan kepada hakim untuk di periksa pada asasnya di tentukan oleh para pihak
yang berperkara dan bukan oleh hakim. inisiatif untuk mengadakan acara perdata
ada pada pihak yang berkepentingan dan tidak pernah dilakukan oleh hakim. Hakim
hanyalah membantu para pencari keadilan dan mengatasi segala hambatan untuk
tercapainya peradilan yang Sederhana , Cepat dan Biaya Ringan (pasal 5
undang-undang nomor14 tahun 1970) . dalam perkara perdata pihak - pihak yang
berhadapan adalah pihak - pihak yang berkepentingan yaitu penggugat dan
tergugat dan dalam perkara acara perdata para pihak yang berperkara dapat
secara bebas mengahiri sendiri perkara mereka yang telah diajukan ke pengadian
dan hakim tidak bisa menghalanginya. hakim wajib mengadili seluruh tuntutan dan
dilarang menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut atau
mengabulkan lebih dari pada yang dituntutkan (pasal 178 HIR/pasal 189 RBg). hakim
mengejar kebenaran formil , yakni kebenaran yang hanya di dasarkan pada
bukti-bukti yang di ajukan di depan sidang pengadilan tanpa harus di dasari
pada keyakinan hakim
d. para pihak yang berperkara berhak pula untuk mengajukan atau tidak
mengajukan upaya hukum , bahkan mengahiri perkara di pengadilan dengan
perdamaian
3.
Sifat Terbukanya Persidangan (openbaar): sidang pemeriksaan pengadilan pada
asasnya adalah terbuka untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang di bolehkan
hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuannya ialah untuk
memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk
lebih menjamin objektifitas peradilan dengan mempertanggung jawabkan pemeriksaan
yang fair (pasal 19 ayat 1 dan 20 UU no.4 tahun 2004). Apabila tidak di buka
untuk umum maka putusan tidak sah dan batal demi hokum. Sifat sidang terbuka
untuk umum artinya setiap orang dibolehkan hadir dan menyaksikan pemeriksaan di
persidangan. Tujuan dari asas ini tidak lain untuk memberikan perlindungan HAM
dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin obyektifitas peradilan.
(pasal 17 dan 18 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman). Apabila putusan diucap
dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak
sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu
menurut hukum. Secara formal asas ini membuka kesempatan untuk dikontrol
masyarakat terhadap jalannya sidang di pengadilan. Kecuali apabila ditentukan
lain oleh Undang-undang atau apabila berdasarkan alasan-alasan yang penting
yang dimuat dalam berita acara yang diperintahkan oleh hakim, maka persidangan
dilaksanakan dengan pintu tertutup. (pasal 17 Undang-undang Kekuasaan
Kehakiman), misalnya dalam sidang pemeriksaan perkara perceraian dan
perzinahan. Dalam peradilan TUN juga diatur mengenai hal ini, yaitu untuk
keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka
untuk umum. Namun, apabila majelis hakim memandang bahwa sengketa yang
disidangkan menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan
dapat dinyatakan tertutup untuk umum (Pasal 70 (1,23) Undang-undang Peradilan
TUN). Sidang pengadilan perdata terbuka untuk umum ( pasal 19 undang - undang
nomor 4 tahun 2004 ) ini berarti bahwa semua orang boleh hadir , mendengar,
menyaksikan jalannya pemeriksaan perkara perdata itu dipengadilan, akan tetapi
untuk kepentingan kesusilaan hakim dapat menyimpang dari asas ini contohnya
dalam perkara perceraian karena perzinahan , disini walaupun pemeriksaannya
dilakukan secara tertutup , akan tetapi putusannya harus tetap dibacakan dalam
sidang pengadilan yang terbuka untuk umum . putusan pengadilan yang dibacakan
dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum adalah tidak sah karena tidak
mempunyai kekuatan hukum dan putusan tersebut batal demi hukum.
4.
Mendengar Kedua Belah Pihak (Audio Et Alterampartem): dalam hal ini
pihak yang berperkara harus di perlakukan secara sama adilnya, hakim tidak
boleh mendengar keterangan hanya dari salah satu pihak sebagai suatu yang benar
tanpa mendengar dan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk menyampaikan
pendapatnya . hal ini berarti dalam pengajuan alat - alat bukti harus di hadiri
oleh kedua belah pihak (pasal 121, pasal 132 HIR /pasal 145, dan pasal 157
RBg).. hakim tidak boleh memberikan putusan tanpa memberikan kesempatan kepada
kedua belah pihak yang berperkara.
putusan verstek bukanlah mrupakan pengecualian karena putusan ini dijatuhkan
justru karena tergugat tidak hadir dan ia juga tidak mengirimkan kuasaanya
padahal ia sudah dipanggil secara patut. Dalam pasal 5 ayat 1 UU no.4 tahun
2004 mengandung arti bahwa di dalam hokum acara perdata yang berperkara harus
sama-sama di perhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta
masing-masing harus di beri kesempatan untuk memberikan pendapatnya. Di dalam
hukum, kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama. Pengadilan mengadili
menurut hukum dengan tidak membedakan orang (pasal 5 Undang-undang Kekuasaan
Kehakiman). Hal ini mengandung pengertian bahwa pihak-pihak yang berperkara
harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta
masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberi pendapat. Para pihak harus
didengar (audi alteram partem).
5.
Putusan Harus Di Sertai Alasan-alasan : semua putusan
pengadilan harus memuat alas an-alasan putusan yang di jadikan dasar untuk
mengadili ( pasal 25 UU no 4 tahun 2004,) 184 ayat 1, 319 HIR, 195, 618 Rbg).
Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungan jawab
hakim dari pada putusanya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang
lebih tinggi dan ilmu hokum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif.
semua putusan pengadilan harus memuat alasan- alasan yang dijadikan dasar
tuntutan untuk mengadili (pasal 25 undang - undang nomor 4 tahun 2004 , pasal
184 ayat 1 ,pasal 319HIR /pasal 195, dan pasal 618 RBg).
6.
Beracara di Kenakan biaya : untuk beracara
pada asasnya di kenakan biaya (pasal 3 ayat 2 UU no 4 tahun 2004, 121 ayat 4,
182,183 HIR, 145 ayat 4, 192-194 Rbg). Biaya perkara ini meliputi biaya
kepaniteraan, dan biaya untuk pengadilan, pemberitahuan para pihak serta biaya
materai. beracara perdata pada asas nya dikenakan biaya (pasal 121 ayat 4 ,
pasal 182 HIR/pasal 145 ayat 4 , pasal 192,dan pasal 194 RBg) biaya perkara ini
penting untuk meliputi biaya kepanitraan , pemanggilan-pemanggilan dan
pemberitahuan-pemberitahuan serta bea materai, Namun biaya ini harus diterapkan
serendah mungkin agar bisa dipikul oleh rakyat.
7.
Tidak ada keharusan mewakilkan : dalam hukum
acara perdata sekarang ini baik dalam HIR maupun RBg tidaklah mengharuskan
kepada pihak - pihak yang berperkara untuk mewakilkan pengurusan perkara mereka
kepada ahli hukum , sehingga pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan secara
langsung terhadap pihak - pihak yang berkepentingan akan tetapi kepada para
pihak yang berperkara aoabula menghendaki boleh mewakilkan kepada kuasnya
(pasal 123 HIR/pasal 147 RBg). pasal 123 HIR, 147 Rbg tidak mewajibkan para
pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan
terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Para
Pihak dapat meminta bantuan atau mewakilkan kepada seorang Kuasa.
Dengan demikian tidak diwajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain,
sehingga pemeriksaan di Persidangan dapat terjadi secara langsung terhadap
pihak yang berkepentingan. Namun berdasarkan pasal 123 HIR/147 RGB para pihak
dapat meminta bantuan atau mewakilkan kepada seorang kuasa. Berbeda dengan RV
(Hukum Acara Perdata bagi Golongan Eropa) mewajibkan para pihak mewakilkan
kepada orang lain (procureur) dalam beracara dimuka pengadilan.
Perwakilan ini merupakan suatu keharusan dengan akibat batalnya tuntutan hak.
(pasal 106 (1) RV) atau diputus diluar hadir tergugat (pasal 109 RV)
apabila para pihak ternyata tidak diwakili. Baik dalam HIR maupun RGB tidak ada
ketentuan yang mengatur bahwa seorang pembantu atau wakil adalah seorang ahli
atau sarjana hukum. Kenyataan dewasa ini di dalam praktek sebagian besar
seorang kuasa adalah sarjana hukum, terutama di kota-kota besar.
8.
Peradilan Bebas dari Campur Tangan Pihak-pihak di Luar
Kekuasaan Kehakiman.
Kebebasan dalam melaksanakan wewenang Judicieel menurut
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman tidak mutlak sifatnya, karena tugas daripada
hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan
menafsirkan hukum serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui
perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya sehingga keputusannya mencerminkan
rasa keadilan rakyat.
9.
Asas Obyektifitas. Asas tidak memihaknya pengadilan terdapat
dalam pasal 5 ayat 1 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman
(Undang-undang No.48 tahun 2009). Didalam memeriksa perkara dan
menjatuhkan putusan, hakim harus obyektif dan tidak boleh memihak. Semua
putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar
untuk mengadili. (pasal 23 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, pasal 184 ayat 1
dan 319 HIR, 195 dan 618 RGB). Alasan-alasan atau argumentasi tersebut
dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim terhadap masyarakat, sehingga
mempuyai nilai obyektif. Karena ada alasan-alasan itulah maka putusan mempunyai
wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang menjatuhkannya. Dalam praktek,
beberapa putusan MA menetapkan bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang
cukup dipertimbangkan merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan.
10. Gugatan/permohonan
Dapat Diajukan dengan Surat atau Lisan. Pasal 118 Ayat 1 HIR menyatakan gugatan
perdata/tuntutan sipil yang dalam tingkat pertama masuk wewenang pengadilan
negeri, harus diajukan dengan surat gugatan/surat permintaan, yang telah
ditandatangani oleh penggugat atau oleh orang yang dikuasakan menurut Pasal 123
HIR kepada ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya terletak tempat tinggal
tergugat atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya tempat tergugat sebenarnya
berdiam. Dengan demikian secara jelas Hukum Acara Perdata mengharuskan gugatan
tertulis. Pengajuan gugatan secara tertulis ini ternyata dibeberapa negara
beberapa abad yang lalu sdh dikenal. Sebagaimana yang dikemukan oleh R.
Subekti: bahwazivilprozesordnung dari Jerman barat sejak tahun
1877. Sedangkan mengenai gugatan lisan pasal 120 HIR mengatakan, bilamana
penggugat tidak dapat menulis maka gugatan dapat diajukan secara lisan kepada
Ketua Pengadilan negeri. Ketua Pengadilan negeri tersebut membuat catatan atau
menyuruh membuat catatan tentang gugatan itu. Menurut Soepomo, Hukum Acara
Perdata dimuka pengadilan negeri berlaku lisan (mondelinge procedure),
berlainan dengan acara yang berlaku di Raad Van Justitie dahulu,
yang bersifat acara dengan surat (schriftelijke Procedure). Acara lisan
berarti, bahwa pemeriksaan perkara pada pokoknya berjalan dengan tanya jawab
dengan lisan dimuka hakim. Sudah tentu kedua belah pihak diperbolehkan juga
mengajukan surat-surat. Bahkan pasal 121 ayat 2 IR memberi kesempatan
kepada tergugat untuk menjawab dengan tulisan.
11. Inisiatif berperkara
diambil oleh Pihak yang Berkepentingan. Dalam Hukum Acara Perdata, inisiatif yaitu
ada atau tidak suatu perkara harus diambil oleh sesorang atau beberapa orang
yang merasa bahwa haknya atau hak mereka dilanggar. Ini berbeda dengan sifat
Hukum Acara Pidana pada umumnya, terkecuali delik aduan. Oleh karena dalam
Hukum Acara Perdata inisiatif ada pada penggugat, maka penggugat mempunyai
pengaruh yang besar terhadap jalannya perkara, selah perkara diajukan, dalam
batas-batas tertentu dapat mengubah atau mencabut kembali gugatannya.
12. Keaktifan Hakim dalam
Pemeriksaan.
Soepomo berpendapat: berlainan dari sistem RV (Reglement
Rechtsvordering) yang pada pokoknya mengandung prinsip pasivitet dari
hakim, maka IR mengharuskan hakim aktif dari pemulaan hingga akhir prose. Pasal
119 HIR mengatakan, ketua pengadilan negeri berwenang untuk memberi nasihat dan
bantuan kepada penggugat atau kepada kuasanya dalam hal mengajukan guguatannya
itu. Pasal 132 HIR mengatakan, jika menurut pertimbangan ketua supaya perkara
berjalan dengan baik, dan teratur, ketua berwenang pada waktu memeriksa perkara
memberi nasihat kepada kedua belah pihak dan menunjukkan kepada mereka tentang
upaya hukum dan alat bukti, yang dapat dipergunakan oleh mereka. Selaku
pimpinan sidang hakim harus aktif memimpin pemeriksaan perkara dan tidak
merupakan pegawai atau sekadar alat dari pada para pihak, dan harus berusaha
sekeras-keranya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya
keadilan.
13. Hak
menguji tidak dikenal. Hakim Indonesia tidak mempunyai
hak menguji undang-undang. Hak ini tidak dikenal oleh UUD. Dalam pasal 26 ayat
1 UU tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (UU No. 14/1970) dinyatakan
bahwa Hak menguji diberikan kepada mahkamah agung terhadap peraturan
perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah dari UU dan dapat menyatakan
peraturan perundang-undangan tersebut tidak sah.
14. Ius
Curia Novit Pengadilan atau hakim tidak
boleh menolak untuk menerima,memeriksa ,mengadili dan memutus suatu perkara
yang diajukan,sekalipun dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas,melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya ( Pasal 10 ayat (1) UU
No.48 Tahun 2009 )----- Hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit).
15. Putusan
hakim Harus Disertai Alasan-alasan “ Segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar
putusan tersebut,memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk
mengadili ( Pasal 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 )
16. Perkara Prodeo Bagi pihak-pihak yang tidak
mampu dapat mengajukan permohonan agar perkaranya diperiksa secara Cuma-Cuma
(prodeo ) dengan disertai surat keterangan tidak mampu dari pemerintah
setempat, biaya perkara ditanggung oleh negara ( Pasal 56 ayat (2) UU No. 48
Tahun 2009
17. Bantuan
Hukum Setiap orang yang tersangkut
perkara berhak memperoleh bantuan hukum ( Pasal 56 ayat (1) UU No. 48 Tahun
2009
18. Wakil
/Kuasa berdasarkan undang-undang (wettelijke vertegenwoodig atau legal mandatory) undang-undanglah yang telah menetapkan seseorang atau badan untuk
dengan sendirinya menurut hukum bertindak sebagai wakil dari orang atau badan
tanpa memerlukan surat kuasa. Contoh : Wali terhadap anak di bawah perwaliannya
Orang tua terhadap anak-anaknya yang belum dewasa kurator terhadap orang-orang
yang ada di bawah kuratelenya BHP, Orang atau Badan yang ditunjuk sebagi
curator dalam kepailitan.
19. Wakil
atau kuasa berdasarkan perjanjian Wakil atau kuasa berdasarkan adanya perjanjian pemberian kuasa
untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu ,misalnya kuasa khusus untuk
mengajukan gugatan ke pengadilan negeri antara seorang penggugat dengan
pengacaranya
20. Acara
Kepailitan Dalam acara khusus permohonan
pernyataan pailit ,ketentuan asas tidak ada keharusan untuk mewakilkan menjadi
tidak berlaku dengan adanya ketentuan bahwa setiap permohonan yang berkaitan
dengan kepailitan harus diajukan oleh seorang kuasa(Advokat) sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 UU No37 Tahun 2004 tentang kepailitan.
21. Jaminan
penerapan asas obyektifitas Sebagai
jaminan penerapan asas obyektifitas ada beberapa asas yang terkait dan saling
mendukung,misalnya adanya asas sidang terbuka untuk umum,asas mendengar kedua
belah pihak,asas putusan disertai alasan-alasan,asas hakim majelis dan lain
sebaginya,di samping itu untuk lebih menjamin asas obyektifitas pada para pihak
diberikan adanya “hak ingkar (recusatie atau hak wraking)” “ Pihak yang diadili
mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang akan mengadili perkaranya ( Pasal 17
ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009
22. Hak
Ingkar A dalah hak seorang yang
diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang
hakim yang mengadili perkaranya (Pasal 17 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009)
23. Dasar
alasan pengajuan hak ingkar (
Pasal 17 ayat (3,4,5) UU No.48 Tahun 2009, Pasal 374 ayat (1) HIR) : Apabila
seorang hakim terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat
ketiga,atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai,dengan ketua,salah
seorang hakim anggota,jaksa,advokat,atau panitera; A pabila ketua majelis,hakim
anggota,jaksa,atau panitera terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda
sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai
dengan pihak yang diadili atau advokat; A pabila hakim atau panitera mempunyai
kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa
Hak Ingkar Berdasarkan alasan yang sama seorang hakim atau panitera wajib untuk
mengundurkan diri baik atas keinginan sendiri maupun atas permintaan
pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap alasan
pada ayat (5) maka putusan hakim menjadi tidak sah dan terhadap hakim atau
panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administrative atau pidana
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku ( Pasal 17 ayat (6) UU
No.48 Tahun 2009 ).
24. Asas
sistem majelis “ Semua pengadilan
memeriksa,mengadili dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim
kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 11 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009)
25. Asas
Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ( Pasal 2 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009) Setiap putusan pengadilan
dalam kepala putusannya harus mencantumkan klausula Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa,klausula ini merupakan klausula eksekutorial. Tidak
dipenuhinya asas ini dalam putusan,berakibat putusan tidak dapat dilaksanakan
dan putusan menjadi batal demi hukum
26. Asas peradilan yang sederhana,cepat
dan biaya ringan( Pasal 2 ayat (4) UU No.48 Tahun 2009 ) Sederhana dalam pengertian
bahwa peradilan dilaksanakan dengan cara-cara yang tidak formalistis,tidak
memerlukan birokrasi yang sulit serta acaranya mudah difahami oleh masyarakat;
Cepat,dalam pengertian bahwa proses peradilan dilaksanakan dalam jangka waktu
tertentu yang penyelesaiannya dapat diukur secara pasti dan jelas dalam waktu
berapa lama suatu perkara dapat diselesaikan oleh hakim pada semua tingkat;
Biaya ringan,proses peradilan tentu memerlukan biaya,hanya saja tentunya biaya
yang dibebankan selaras dan sebanding dengan perkara yang diajukan dan dapat
ditanggung oleh masyarakat.