Kamis, 13 Agustus 2015

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA

ASAS-ASAS HUKUM ACARA PERDATA INDONESIA

1.    Hakim Bersifat Menunggu : maksudnya ialah hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak di ajukan kepadanya, kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan maka tidak ada hakim. Jadi apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu akan di ajukan atau tidak, sepenuhnya di serahkan kepada pihak yang berkepentingan.(pasal 118 HIR, 142 Rbg.).
2.    Hakim Pasif (Lijdelijkeheid Van De Rehter): hakim di dalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang di ajukan kepada hakim untuk di periksa pada asasnya di tentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. inisiatif untuk mengadakan acara perdata ada pada pihak yang berkepentingan dan tidak pernah dilakukan oleh hakim. Hakim hanyalah membantu para pencari keadilan dan mengatasi segala hambatan untuk tercapainya peradilan yang Sederhana , Cepat dan Biaya Ringan (pasal 5 undang-undang nomor14 tahun 1970) . dalam perkara perdata pihak - pihak yang berhadapan adalah pihak - pihak yang berkepentingan yaitu penggugat dan tergugat dan dalam perkara acara perdata para pihak yang berperkara dapat secara bebas mengahiri sendiri perkara mereka yang telah diajukan ke pengadian dan hakim tidak bisa menghalanginya. hakim wajib mengadili seluruh tuntutan dan dilarang menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut atau mengabulkan lebih dari pada yang dituntutkan (pasal 178 HIR/pasal 189 RBg). hakim mengejar kebenaran formil , yakni kebenaran yang hanya di dasarkan pada bukti-bukti yang di ajukan di depan sidang pengadilan tanpa harus di dasari pada keyakinan hakim
d. para pihak yang berperkara berhak pula untuk mengajukan atau tidak mengajukan upaya hukum , bahkan mengahiri perkara di pengadilan dengan perdamaian
3.    Sifat Terbukanya Persidangan (openbaar): sidang pemeriksaan pengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang berarti bahwa setiap orang di bolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuannya ialah untuk memberi perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin objektifitas peradilan dengan mempertanggung jawabkan pemeriksaan yang fair (pasal 19 ayat 1 dan 20 UU no.4 tahun 2004). Apabila tidak di buka untuk umum maka putusan tidak sah dan batal demi hokum. Sifat sidang terbuka untuk umum artinya setiap orang dibolehkan hadir dan menyaksikan pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari asas ini tidak lain untuk memberikan perlindungan HAM dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin obyektifitas peradilan. (pasal 17 dan 18 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman). Apabila putusan diucap dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum. Secara formal asas ini membuka kesempatan untuk dikontrol masyarakat terhadap jalannya sidang di pengadilan. Kecuali apabila ditentukan lain oleh Undang-undang atau apabila berdasarkan alasan-alasan yang penting yang dimuat dalam berita acara yang diperintahkan oleh hakim, maka persidangan dilaksanakan dengan pintu tertutup. (pasal 17 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman), misalnya dalam sidang pemeriksaan perkara perceraian dan perzinahan. Dalam peradilan TUN juga diatur mengenai hal ini, yaitu untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum. Namun, apabila majelis hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk umum (Pasal 70 (1,23) Undang-undang Peradilan TUN). Sidang pengadilan perdata terbuka untuk umum ( pasal 19 undang - undang nomor 4 tahun 2004 ) ini berarti bahwa semua orang boleh hadir , mendengar, menyaksikan jalannya pemeriksaan perkara perdata itu dipengadilan, akan tetapi untuk kepentingan kesusilaan hakim dapat menyimpang dari asas ini contohnya dalam perkara perceraian karena perzinahan , disini walaupun pemeriksaannya dilakukan secara tertutup , akan tetapi putusannya harus tetap dibacakan dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum . putusan pengadilan yang dibacakan dalam sidang pengadilan yang terbuka untuk umum adalah tidak sah karena tidak mempunyai kekuatan hukum dan putusan tersebut batal demi hukum.
4.    Mendengar Kedua Belah Pihak (Audio Et Alterampartem): dalam hal ini pihak yang berperkara harus di perlakukan secara sama adilnya, hakim tidak boleh mendengar keterangan hanya dari salah satu pihak sebagai suatu yang benar tanpa mendengar dan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk menyampaikan pendapatnya . hal ini berarti dalam pengajuan alat - alat bukti harus di hadiri oleh kedua belah pihak (pasal 121, pasal 132 HIR /pasal 145, dan pasal 157 RBg).. hakim tidak boleh memberikan putusan tanpa memberikan kesempatan kepada kedua belah pihak yang berperkara.
putusan verstek bukanlah mrupakan pengecualian karena putusan ini dijatuhkan justru karena tergugat tidak hadir dan ia juga tidak mengirimkan kuasaanya padahal ia sudah dipanggil secara patut. Dalam pasal 5 ayat 1 UU no.4 tahun 2004 mengandung arti bahwa di dalam hokum acara perdata yang berperkara harus sama-sama di perhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus di beri kesempatan untuk memberikan pendapatnya. Di dalam hukum, kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang (pasal 5 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman). Hal ini mengandung pengertian bahwa pihak-pihak yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberi pendapat. Para pihak harus didengar (audi alteram partem).
5.    Putusan Harus Di Sertai Alasan-alasan : semua putusan pengadilan harus memuat alas an-alasan putusan yang di jadikan dasar untuk mengadili ( pasal 25 UU no 4 tahun 2004,) 184 ayat 1, 319 HIR, 195, 618 Rbg). Alasan-alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungan jawab hakim dari pada putusanya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan ilmu hokum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif. semua putusan pengadilan harus memuat alasan- alasan yang dijadikan dasar tuntutan untuk mengadili (pasal 25 undang - undang nomor 4 tahun 2004 , pasal 184 ayat 1 ,pasal 319HIR /pasal 195, dan pasal 618 RBg).
6.    Beracara di Kenakan biaya : untuk beracara pada asasnya di kenakan biaya (pasal 3 ayat 2 UU no 4 tahun 2004, 121 ayat 4, 182,183 HIR, 145 ayat 4, 192-194 Rbg). Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan, dan biaya untuk pengadilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai. beracara perdata pada asas nya dikenakan biaya (pasal 121 ayat 4 , pasal 182 HIR/pasal 145 ayat 4 , pasal 192,dan pasal 194 RBg) biaya perkara ini penting untuk meliputi biaya kepanitraan , pemanggilan-pemanggilan dan pemberitahuan-pemberitahuan serta bea materai, Namun biaya ini harus diterapkan serendah mungkin agar bisa dipikul oleh rakyat.
7.    Tidak ada keharusan mewakilkan : dalam hukum acara perdata sekarang ini baik dalam HIR maupun RBg tidaklah mengharuskan kepada pihak - pihak yang berperkara untuk mewakilkan pengurusan perkara mereka kepada ahli hukum , sehingga pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan secara langsung terhadap pihak - pihak yang berkepentingan akan tetapi kepada para pihak yang berperkara aoabula menghendaki boleh mewakilkan kepada kuasnya (pasal 123 HIR/pasal 147 RBg). pasal 123 HIR, 147 Rbg tidak mewajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang langsung berkepentingan. Para Pihak dapat meminta bantuan atau mewakilkan kepada seorang Kuasa. Dengan demikian tidak diwajibkan para pihak untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga pemeriksaan di Persidangan dapat terjadi secara langsung terhadap pihak yang berkepentingan. Namun berdasarkan pasal 123 HIR/147 RGB para pihak dapat meminta bantuan atau mewakilkan kepada seorang kuasa. Berbeda dengan RV (Hukum Acara Perdata bagi Golongan Eropa) mewajibkan para pihak mewakilkan kepada orang lain  (procureur) dalam beracara dimuka pengadilan. Perwakilan ini merupakan suatu keharusan dengan akibat batalnya tuntutan hak. (pasal 106 (1) RV) atau diputus diluar hadir tergugat  (pasal 109 RV) apabila para pihak ternyata tidak diwakili. Baik dalam HIR maupun RGB tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa seorang pembantu atau wakil adalah seorang ahli atau sarjana hukum. Kenyataan dewasa ini di dalam praktek sebagian besar seorang kuasa adalah sarjana hukum, terutama di kota-kota besar.
8.    Peradilan Bebas dari Campur Tangan Pihak-pihak di Luar Kekuasaan Kehakiman. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang Judicieel  menurut Undang-undang Kekuasaan Kehakiman tidak mutlak sifatnya, karena tugas daripada hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan jalan menafsirkan hukum serta asas-asas yang jadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya sehingga keputusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat.
9.    Asas Obyektifitas. Asas tidak memihaknya pengadilan terdapat dalam pasal 5 ayat 1 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman (Undang-undang No.48 tahun 2009). Didalam memeriksa perkara dan menjatuhkan putusan, hakim harus obyektif dan tidak boleh memihak. Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili. (pasal 23 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman, pasal 184 ayat 1 dan 319 HIR, 195 dan 618 RGB). Alasan-alasan atau argumentasi tersebut dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim terhadap masyarakat, sehingga mempuyai nilai obyektif. Karena ada alasan-alasan itulah maka putusan mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu yang menjatuhkannya. Dalam praktek, beberapa putusan MA menetapkan bahwa putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup dipertimbangkan merupakan alasan untuk kasasi dan harus dibatalkan.
10. Gugatan/permohonan Dapat Diajukan dengan Surat atau Lisan. Pasal 118 Ayat 1 HIR menyatakan gugatan perdata/tuntutan sipil yang dalam tingkat pertama masuk wewenang pengadilan negeri, harus diajukan dengan surat gugatan/surat permintaan, yang telah ditandatangani oleh penggugat atau oleh orang yang dikuasakan menurut Pasal 123 HIR kepada ketua Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya terletak tempat tinggal tergugat atau jika tidak diketahui tempat tinggalnya tempat tergugat sebenarnya berdiam. Dengan demikian secara jelas Hukum Acara Perdata mengharuskan gugatan tertulis. Pengajuan gugatan secara tertulis ini ternyata dibeberapa negara beberapa abad yang lalu sdh dikenal. Sebagaimana yang dikemukan oleh R. Subekti: bahwazivilprozesordnung dari Jerman barat sejak tahun 1877. Sedangkan mengenai gugatan lisan pasal 120 HIR mengatakan, bilamana penggugat tidak dapat menulis maka gugatan dapat diajukan secara lisan kepada Ketua Pengadilan negeri. Ketua Pengadilan negeri tersebut membuat catatan atau menyuruh membuat catatan tentang gugatan itu. Menurut Soepomo, Hukum Acara Perdata dimuka pengadilan negeri berlaku lisan (mondelinge procedure), berlainan dengan acara yang berlaku di Raad Van Justitie dahulu, yang bersifat acara dengan surat (schriftelijke Procedure). Acara lisan berarti, bahwa pemeriksaan perkara pada pokoknya berjalan dengan tanya jawab dengan lisan dimuka hakim. Sudah tentu kedua belah pihak diperbolehkan juga mengajukan surat-surat. Bahkan pasal 121 ayat 2 IR memberi kesempatan  kepada tergugat untuk menjawab dengan tulisan.
11. Inisiatif berperkara diambil oleh Pihak yang Berkepentingan. Dalam Hukum Acara Perdata, inisiatif yaitu ada atau tidak suatu perkara harus diambil oleh sesorang atau beberapa orang yang merasa bahwa haknya atau hak mereka dilanggar. Ini berbeda dengan sifat Hukum Acara Pidana pada umumnya, terkecuali delik aduan. Oleh karena dalam Hukum Acara Perdata inisiatif ada pada penggugat, maka penggugat mempunyai pengaruh yang besar terhadap jalannya perkara, selah perkara diajukan, dalam batas-batas tertentu dapat mengubah atau mencabut kembali gugatannya.
12. Keaktifan Hakim dalam Pemeriksaan. Soepomo berpendapat: berlainan dari sistem RV (Reglement Rechtsvordering) yang pada pokoknya mengandung prinsip pasivitet dari hakim, maka IR mengharuskan hakim aktif dari pemulaan hingga akhir prose. Pasal 119 HIR mengatakan, ketua pengadilan negeri berwenang untuk memberi nasihat dan bantuan kepada penggugat atau kepada kuasanya dalam hal mengajukan guguatannya itu. Pasal 132 HIR mengatakan, jika menurut pertimbangan ketua supaya perkara berjalan dengan baik, dan teratur, ketua berwenang pada waktu memeriksa perkara memberi nasihat kepada kedua belah pihak dan menunjukkan kepada mereka tentang upaya hukum dan alat bukti, yang dapat dipergunakan oleh mereka. Selaku pimpinan sidang hakim harus aktif memimpin pemeriksaan perkara dan tidak merupakan pegawai atau sekadar alat dari pada para pihak, dan harus berusaha sekeras-keranya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya keadilan.
13. Hak menguji tidak dikenal. Hakim Indonesia tidak mempunyai hak menguji undang-undang. Hak ini tidak dikenal oleh UUD. Dalam pasal 26 ayat 1 UU tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman (UU No. 14/1970) dinyatakan bahwa Hak menguji diberikan kepada mahkamah agung terhadap peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih rendah dari UU dan dapat menyatakan peraturan perundang-undangan tersebut tidak sah.
14. Ius Curia Novit Pengadilan atau hakim tidak boleh menolak untuk menerima,memeriksa ,mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan,sekalipun dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya ( Pasal 10 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009 )----- Hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit).
15. Putusan hakim Harus Disertai Alasan-alasan “ Segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut,memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili ( Pasal 50 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 )
16.  Perkara Prodeo Bagi pihak-pihak yang tidak mampu dapat mengajukan permohonan agar perkaranya diperiksa secara Cuma-Cuma (prodeo ) dengan disertai surat keterangan tidak mampu dari pemerintah setempat, biaya perkara ditanggung oleh negara ( Pasal 56 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009
17. Bantuan Hukum Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum ( Pasal 56 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009
18.  Wakil /Kuasa berdasarkan undang-undang (wettelijke vertegenwoodig atau legal mandatory) undang-undanglah yang telah menetapkan seseorang atau badan untuk dengan sendirinya menurut hukum bertindak sebagai wakil dari orang atau badan tanpa memerlukan surat kuasa. Contoh : Wali terhadap anak di bawah perwaliannya Orang tua terhadap anak-anaknya yang belum dewasa kurator terhadap orang-orang yang ada di bawah kuratelenya BHP, Orang atau Badan yang ditunjuk sebagi curator dalam kepailitan.
19. Wakil atau kuasa berdasarkan perjanjian Wakil atau kuasa berdasarkan adanya perjanjian pemberian kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu ,misalnya kuasa khusus untuk mengajukan gugatan ke pengadilan negeri antara seorang penggugat dengan pengacaranya
20. Acara Kepailitan Dalam acara khusus permohonan pernyataan pailit ,ketentuan asas tidak ada keharusan untuk mewakilkan menjadi tidak berlaku dengan adanya ketentuan bahwa setiap permohonan yang berkaitan dengan kepailitan harus diajukan oleh seorang kuasa(Advokat) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No37 Tahun 2004 tentang kepailitan.
21. Jaminan penerapan asas obyektifitas Sebagai jaminan penerapan asas obyektifitas ada beberapa asas yang terkait dan saling mendukung,misalnya adanya asas sidang terbuka untuk umum,asas mendengar kedua belah pihak,asas putusan disertai alasan-alasan,asas hakim majelis dan lain sebaginya,di samping itu untuk lebih menjamin asas obyektifitas pada para pihak diberikan adanya “hak ingkar (recusatie atau hak wraking)” “ Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang akan mengadili perkaranya ( Pasal 17 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009
22. Hak Ingkar A dalah hak seorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya (Pasal 17 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009)
23. Dasar alasan pengajuan hak ingkar ( Pasal 17 ayat (3,4,5) UU No.48 Tahun 2009, Pasal 374 ayat (1) HIR) : Apabila seorang hakim terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga,atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai,dengan ketua,salah seorang hakim anggota,jaksa,advokat,atau panitera; A pabila ketua majelis,hakim anggota,jaksa,atau panitera terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat; A pabila hakim atau panitera mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa Hak Ingkar Berdasarkan alasan yang sama seorang hakim atau panitera wajib untuk mengundurkan diri baik atas keinginan sendiri maupun atas permintaan pihak-pihak yang berkepentingan. Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap alasan pada ayat (5) maka putusan hakim menjadi tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administrative atau pidana berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku ( Pasal 17 ayat (6) UU No.48 Tahun 2009 ).
24. Asas sistem majelis “ Semua pengadilan memeriksa,mengadili dan memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 11 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009)
25. Asas Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa ( Pasal 2 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009) Setiap putusan pengadilan dalam kepala putusannya harus mencantumkan klausula Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa,klausula ini merupakan klausula eksekutorial. Tidak dipenuhinya asas ini dalam putusan,berakibat putusan tidak dapat dilaksanakan dan putusan menjadi batal demi hukum
26. Asas peradilan yang sederhana,cepat dan biaya ringan( Pasal 2 ayat (4) UU No.48 Tahun 2009 ) Sederhana dalam pengertian bahwa peradilan dilaksanakan dengan cara-cara yang tidak formalistis,tidak memerlukan birokrasi yang sulit serta acaranya mudah difahami oleh masyarakat; Cepat,dalam pengertian bahwa proses peradilan dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu yang penyelesaiannya dapat diukur secara pasti dan jelas dalam waktu berapa lama suatu perkara dapat diselesaikan oleh hakim pada semua tingkat; Biaya ringan,proses peradilan tentu memerlukan biaya,hanya saja tentunya biaya yang dibebankan selaras dan sebanding dengan perkara yang diajukan dan dapat ditanggung oleh masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar